II. Perkembangan
Sistem Hukum di Indonesia dari Masa Sesudah Kemerdekaan – Reformasi
Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad
untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa
melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk
hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih
belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan
bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan
dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat
berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950).
Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga
hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif,
aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional)
adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu
dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan
mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian
besar bidang- bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada
pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar
kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi. Pada masa
Orde Lama Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan- penyimpangan terhadap
UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan
kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang
konservatif (ortodok) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena
memang pendapat Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah :
1. Kekuasaan Presiden dijalankan secara
sewenang-wenang; hal ini terjadi karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada
waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh Presiden.
2. MPRS menetapkan
Oresiden menjadi Presiden seumur hidup; hal ini tidak sesuai dengan ketentuan
mengenai masa jabatan Presiden.
3. Pimpinan MPRS dan DPR diberi status sebagai
menteri; dengan demikian , MPR dan DPR berada di bawah Presiden.
4. Pimpinan MA
diberi status menteri; ini merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
5. Presiden membuat penetapan yang isinya
semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR); dengan
demikian Presiden melampaui kewenangannya. 6. Pembentukan lembaga negara yang
tidak diatur dalam konstitusi, yaitu Front Nasional. 7. Presiden
membubarkan DPR; padahal menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membubarkan
DPR Pada tahun 1966 merupakan titik akhir Orde lama dan dimulainya Orde Baru
yang membawa semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Namun Soeharto sebagai penguasa Orde Baru juga cenderung
otoriter. Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang kurang/tidak responsif.
Apalagi pada masa ini hukum “hanya” sebagai pendukung
pembangunan ekonomi karena
pembangunan dari PELITA I – PELITA
VI dititik beratkan pada sektor ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan
perundangan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak dan beragam.
Penyimpangan-penyimpangan pemerintah pada
masa orde baru
1. Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan
Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter.
2. Berbagai lembaga
kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan
pemerintah (Presiden).
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis; pemilu
hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga presiden
terus menenrus dipilih kembali.
4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila;
Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan
tindakan-tindakannya.
5. Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti hak
berserikat, berkumpul dan berpendapat. 6. Pemerintah campur tangan
terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7.
Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu
Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
8. Terjadi Korupsi Kolusi
Nepotisme (KKN) yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek
kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multidimensi.
Setelah Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud
membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenahan sistem
hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu
melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan
hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan bernegara di segala
bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan perundangan,
baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian peraturan lama
untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.
Pemerintah dalam Implementasi Hukum pada
Masing-masing Periode
Berbicara bagaimana peranan Pemerintah
dalam implementasi hukum di Indonesia terkait dengan politik hukum yang
dijalankan Pemerintah, karena politik hukum itu menentukan produk hukum yang
dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan Belanda, politik hukumnya
tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) yang mengatur hukum mana
yang berlaku untuk tiap-tiap golongan penduduk. Adapun mengenai
penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik hukum
itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum. Setelah Indonesia merdeka,
untuk mencegah kekosongan hukum dipakailah Aturan peralihan seperti yang
terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS dan
Pasal 142 UUDS 1950. Hukum tidak terlalu berkembang pada masa awal kemerdekaan,
akan tetapi implementasinya relatif baik yang ditandai lembaga peradilan yang
mandiri. Hal ini merupakan efek dari berlakunya demokrasi liberal yang memberi
kebebasan kepada warga untuk berpendapat. Sebaliknya pada masa Orde lama, peran
pemimpin (Presiden) sangat dominan yang menyebabkan implementasi hukum mendapat
campur tangan dari Presiden. Akibatnya lembaga peradilan menjadi tidak bebas.
Ketika Orde Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan Pemerintah yaitu hukum
diarahkan untuk melegitimasi kekuasaan Pemerintah, sebagai sarana untuk
mendukung sektor
ekonomi dan sebagai sarana untuk
memfasilitasi proses rekayasa sosial. Hal ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru
lebih mengutamakan bidang ekonomi dalam pembangunan. Perubahan terjadi ketika
memasuki era reformasi yang menghendaki penataan kehidupan masyarakat di segala
bidang. Semangat kebebasan dan keterbukaan (transparansi) menciptakan kondisi
terkontrolnya langkah Pemerintah untuk mendukung agenda reformasi termasuk
bidang hukum. Langkah-langkah yang diambil antara lain pembenahan peraturan
perundangan, memberi keleluasaan kepada lembaga peradilan dalam menjalankan
tugasnya serta memberi suasana kondusif dalam rangka mengembangkan sistem
kontrol masyarakat untuk mendukung penegakan hukum.